Twitter LinkedIn Pinterest RSS Feed

Nov 25, 2004

Sang tembok sahabatku

Seluruh hidupku ada di ruangan ini. Setiap detik waktu yang kudengar sangat berharga itu kuhabiskan di sini. Sekelebatan kisah-kisah hidup orang lain, entah itu roman ataupun ironi, kulihat dari celah-celah jendela.



Aku berpikir, mengapa orang-orang itu bisa memiliki emosi yang begitu mendalam? Apa itu cinta? angkara? benci? kecewa? bahagia? Tapi apa peduliku kalau aku terlahir tanpa emosi?

Atau apakah karena teman bicaraku, sang tembok yang berwarna putih kekuning-kuningan itu, selalu bisu bila ku bertanya. Sebenarnya, apa itu teman?



Yang kutahu, teman itu sebuah yang selalu bersama denganmu dalam situasi apapun, suka duka. Teman akan lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Ia akan selalu mendampingi dan melindungimu dari apapun. Ia akan selalu ada untukmu kapanpun kau membutuhkannya.



Oleh karena itu, marilah aku perkenalkan kalian pada temanku, sang tembok. Loh, mengapa bingung? Dia kan memenuhi semua persyaratan seorang teman! Dia selalu ada disampingku; setiap waktu kuhabiskan bersamanya. Tak pernah ia lari atau meninggalkan aku sendirian, selalu melindungiku dari dunia luar yang super kejam. Ia juga selalu mendengarkan keluh kesahku, segala ceritaku. Yah, walaupun ia tidak banyak bicara. Dia memang pendiam, tidak seperti aku yang sebenarnya sangat ingin tahu dan tak bisa berhenti bercerita sebelum nafasku habis dan mataku mengantuk. Yah, temanku ini memang tidak dapat menjawab segala pertanyaanku tentang dunia, dan terlebih lagi tentang emosi.



Sesekali sang tembok, biasanya di pagi hari ketika sinar matahari mau berbaik hati dan agak-agak menyeruak masuk dari jendela, menyapaku. Berbisiklah ia," Selamat pagi, sahabat!" Ohya, karena itu pula aku menganggapnya temanku, karena ia pun memanggilku sahabat. Kata sahabat itu... mengapa kata itu bisa terdengar begitu indah dan ramah? Terkesan begitu erat. Seperti kata jabat, sahabat. Jabat itu ketika dua telapak tangan saling bertaut saat berkenalan, itulah yang kubaca dari sebuah buku yang disodorkan padaku dulu.



Dulu aku berkenalan dengan sang tembok tanpa jabat tangan. Yah, mungkin karena saat itu aku masih begitu kecil dan belum mengerti apa itu jabat, apalagi arti sahabat. Tapi itu tak apa baginya, temanku itu, karena dia mau mengerti keadaanku. Walaupun ia tak dapat memelukku, ia selalu mengertiku dalam diam yang tampak bijaksana. Tak pernah ia menyakitiku, padahal sering sekali aku mencoba kabur dari hidupku yang kelihatannya sangat membosankan dengan memukulinya. Anehnya, ia tidak marah. Hanya diam menenangkan.

Kupilih dia sebagai temanku karena berbagai pertimbangan itu, karena ia begitu sempurna.



Sekali lagi kuperkenalkan pada dunia, teman, err sahabatku yang paling setia, sang tembok.

0 comments:

What say you?