Twitter LinkedIn Pinterest RSS Feed

Sep 15, 2011

Mati untuk MERDEKA atau mati sia-sia?

Kata MERDEKA itu mudah diucapkan. Apalagi bagi generasi muda sekarang yang notabene sudah tidak perlu memperjuangkan hak untuk hidup dari tangan penjajah. Tinggal busungkan dada, kepalkan tangan di udara atau melambai-lambaikan bendera.

Kata MERDEKA itu jauh lebih berarti bagi mereka, generasi pejuang yang hidup di tahun 40an. Merekalah yang angkat senjata, bungkam seribu bahasa, paling nyaring saat teriak MERDEKA, dan rela mengorbankan jiwa raga untuk negara.

Taken from: http://gsdewabroto.com/

Lalu apakah ada yang pernah merenung sejenak, bagaimana nasib istri dan anak-anak para pejuang? Mereka bukan debu yang bisa hilang tanpa jejak begitu saja. Mereka manusia yang butuh makan, minum, dan harus dapat terus hidup.

Saat ini, janda-janda Rawagede mungkin sudah bisa bernafas lega. Gugatan mereka di Pengadilan Belanda atas hilangnya nyawa 431 nyawa pejuang sudah dikabulkan, meski kasus ini sudah dianggap "kadaluwarsa". Namun, akankah ganti rugi dan permintaan maaf dari pemerintah Belanda bisa mengobati luka hati yang telah mendera selama berpuluh-puluh tahun?

Legowo. 
Semoga mereka dapat merasa legowo...

Kisah patriotisme para pejuang Rawagede membuat saya ingat akan puisi rintihan hati oleh Chairil Anwar yang pernah saya baca dan bawakan beberapa kali..


KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


(1948) Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957


Generasi saya yang lahir di tahun 80-an mungkin masih tahu sejarah ini, dan mengerti rasa perih yang pernah diderita bangsa Indonesia dari cerita-cerita dan puisi-puisi para pujangga. Heroisme, patriotisme, dan nasionalisme tidak boleh berhenti di sini karena bangsa ini masih amat sangat "terjajah" oleh PEMBODOHAN.  

Taken from: http://matanews.com


Pertanyaan saya: 
Apa jadinya generasi Indonesia selanjutnya?

4 comments:

  1. Great article :D , it's true , it's sad how little we appreciate our heroes .

    Next generation will come around :D

    But it's a new era. The enemy comes from the people in power with their oppressive and corrupted nature .

    As it happened in middle east countries. I always wonder will it happen in Indonesia?

    Will 'little people ' realise that ' People power are greater than people in power'?

    ReplyDelete
  2. jadi ngerinding ngebaca puisi yang udah "biasa" ini..

    patriotisme sama nasionalisme udah mengalami peyorasi dengan munculnya penambahan kata "sok" didepannya..

    MERDEKA!!

    ReplyDelete
  3. kalau bukan mereka indonesia tidak macam sekarnag kn..begitu juga malaysia kn...haha

    ReplyDelete

What say you?